Yudha Puja Turnawan Soroti Keamanan Pangan: Program Makanan Bergizi di Garut Tanpa Sertifikat Laik Higiene!
HALOGARUT – Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, diguncang oleh peristiwa tragis yang melibatkan lebih dari 600 siswa yang mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan yang disediakan dalam program Menu Makanan Bergizi (MBG). Program yang bertujuan untuk membantu pemenuhan gizi seimbang bagi anak-anak, justru menjadi sumber bencana. Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebanyak 657 siswa dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan Al-Bayyinah 2 di Desa Karangmulya dilaporkan terpapar keracunan setelah menyantap makanan yang disajikan. 19 siswa di antaranya harus menjalani perawatan intensif di Puskesmas terdekat.
Kejadian ini memicu keresahan di kalangan masyarakat, khususnya orang tua siswa yang merasa khawatir tentang keamanan pangan yang disediakan dalam program yang seharusnya menjadi solusi, bukan ancaman. Makanan yang diharapkan dapat mencukupi kebutuhan gizi anak-anak malah menimbulkan malapetaka. Kejadian ini membuka mata akan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap program gizi yang dijalankan oleh pemerintah daerah.
Menanggapi peristiwa yang mengguncang tersebut, anggota DPRD Kabupaten Garut, Yudha Puja Turnawan, mengungkapkan keprihatinannya dalam Podcast Media Garut 60 Detik. Dalam sesi wawancara tersebut, Yudha menyampaikan pengalamannya saat berusaha menemui pengelola SPPG Yayasan Al-Bayyinah 2 untuk mendapatkan klarifikasi. Namun, upaya Yudha untuk bertemu dengan pihak pengelola terhambat oleh prosedur yang tidak transparan. Meskipun sudah menunggu lebih dari dua jam, Yudha dan Ketua Komisi IV DPRD Garut, Asep Rahmat, gagal bertemu dengan pemilik yayasan tersebut.
Sebagai langkah lanjutan, Yudha mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk Kepala Puskesmas Rancasalak Kadungora, dr. Hani, Kepala Dinas Kesehatan Garut, Ibu Leli, serta pejabat-pejabat lain seperti Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat (Kesmas), dr. Tri, dan Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P), Asep Surahman. Mereka juga berkoordinasi dengan Asisten Daerah (Asda) I Kabupaten Garut, Bangbang Hafid, yang turut terlibat dalam Satgas MBG Kabupaten Garut.
Dalam pertemuan tersebut, Yudha mengungkapkan temuan mencengangkan: hampir seluruh SPPG di Kabupaten Garut belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), yang seharusnya menjadi syarat mutlak untuk menjalankan operasional di bidang pangan. Yudha menegaskan, tanpa sertifikasi tersebut, SPPG tidak layak beroperasi karena dapat membahayakan kesehatan anak-anak yang mengonsumsi makanan tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun, ada 58 SPPG di Garut yang beroperasi tanpa memiliki sertifikat ini. Bahkan, di salah satu desa, Banjarsari, ditemukan kasus kontaminasi E. coli yang tercemar pada salah satu yayasan pendidikan yang juga mengelola program MBG.
“Pemkab Garut harus bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dan mengambil langkah tegas untuk mengawasi serta memberikan sanksi kepada SPPG yang tidak memenuhi standar keamanan pangan. Tidak hanya itu, pengawasan yang ketat terhadap fasilitas dan bahan makanan yang digunakan juga harus menjadi prioritas utama,” tegas Yudha.
Kasus ini menegaskan betapa pentingnya pengawasan yang serius dan penegakan aturan dalam pelaksanaan program MBG. Program yang seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat justru berisiko menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik. Ke depan, evaluasi menyeluruh terhadap kelayakan operasional SPPG dan kinerja pengelolaannya sangat diperlukan. Pemerintah daerah juga harus lebih serius dalam memperhatikan aspek gizi dan sanitasi, serta melibatkan semua pihak terkait guna menciptakan sistem yang lebih aman bagi anak-anak yang menjadi sasaran program ini.
Jangan biarkan program yang dimaksudkan untuk memberi manfaat justru berbalik menimbulkan ancaman bagi kesehatan anak-anak. Tindakan tegas dan cepat dari pihak berwenang sangat diharapkan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
















